
BANDAR LAMPUNG – Putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Anton Heri dari seluruh dakwaan pidana mendapat respons keras dari kalangan akademisi hukum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiyono, S.H., M.H., menilai bahwa langkah MA melalui Putusan Kasasi Nomor 6413 K/Pid.Sus-LH/2025 adalah penegasan penting terhadap independensi profesi advokat sekaligus bentuk pemulihan terhadap marwah peradilan yang sempat tercoreng oleh praktik kriminalisasi.
“Putusan ini bukan hanya membebaskan Anton Heri sebagai individu, tapi menjadi pengingat bahwa advokat memiliki kedudukan konstitusional dalam menjamin akses masyarakat terhadap keadilan. Pendampingan hukum, apalagi dalam konteks konflik agraria yang kompleks, tidak boleh diartikan sebagai pelanggaran hukum,” tegas Dr. Budiyono, Senin (4/8/2025).
Anton Heri diketahui tengah menjalankan tugas profesi sebagai advokat saat mendampingi warga Kampung Kota Bumi, Sumsang, dan Penengahan, Kabupaten Way Kanan, yang sedang berkonflik dengan PT. Adi Karya Gemilang (AKG), perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU yang akan berakhir pada 2027. Pendampingan itu justru dijadikan dasar pelaporan oleh perusahaan kepada Polda Lampung, hingga akhirnya menjerat Anton ke meja hijau.
Menurut Dr. Budiyono, perkara ini seharusnya menjadi refleksi menyeluruh bagi aparat penegak hukum—baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan—agar tidak gegabah dalam menindak seorang advokat yang sedang menjalankan mandat konstitusionalnya.
“Kriminalisasi terhadap advokat bukan hanya melukai profesi hukum, tapi juga merusak legitimasi institusi penegakan hukum. Ketika pendampingan hukum dianggap sebagai perbuatan pidana, kita sedang mengancam demokrasi hukum itu sendiri,” ujarnya.
Ia juga menyoroti momentum berakhirnya masa HGU PT. AKG sebagai titik penting bagi semua pihak, terutama pemerintah, untuk mengevaluasi kepemilikan dan pengelolaan lahan oleh korporasi. Menurutnya, proses perpanjangan HGU harus melibatkan masyarakat secara adil dan terbuka, bukan justru menyingkirkan suara kritis.
“Perusahaan wajib membangun dialog partisipatif dan mengedepankan prinsip keadilan sosial. Proses ini harus melibatkan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek. Dengan begitu, konflik agraria tidak akan terus berulang,” tambahnya.
Dr. Budiyono menegaskan bahwa putusan MA ini perlu menjadi yurisprudensi penting dalam upaya perlindungan terhadap profesi hukum serta penguatan demokrasi hukum di Indonesia.
“Mahkamah Agung telah mengembalikan prinsip keadilan dalam kasus Anton Heri. Ini sinyal kuat bahwa negara tidak boleh membiarkan hukum dijadikan alat represi. Advokat adalah bagian dari sistem peradilan, dan harus dilindungi dalam menjalankan tugasnya,” pungkasnya.
Putusan bebas terhadap Anton Heri tidak hanya membatalkan vonis 6 bulan penjara yang sebelumnya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Blambangan Umpu dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bandar Lampung, tetapi juga menjadi simbol kemenangan konstitusional bagi para pembela HAM dan masyarakat adat yang selama ini rentan dikriminalisasi.
(Mivi).
.